- Melihat Perempuan- perempuan Tangguh Pulau Kolorai
- 55 Pulau Kecil Digempur Tambang dan Sawit Tak Dibahas Capres
- Kala Pantai Kota Ternate Nyaris Habis karena Reklamasi
- Menelisik Implementasi Kota Jasa berbasis Agro-marine Kota Tidore Kepulauan
- Anak Muda Ternate akan Dapat Ilmu Gratis Soal Medsos
- Melihat Festival Kalaodi, dan Pekan Lingkungan Hidup P3K
- Ini Rencana Pesta Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Malut
- Empat Lembaga Bongkar Bobrok PT Korido di Gane
- Ini Win- win Solution Konflik Tenurial TNAL dengan Warga Adat Kobe
- Di Mare akan Dikembangkan Jambu Mente
Senja Sendiri
Berita Populer
- Empat Pelaku Spesialis Pencuri Barang Elektronik Diciduk Polisi
- Pulau Obi yang Kaya Kini “Telah Ludes”
- Survei Kecil Kondisi Listrik Pulau-pulau di Maluku Utara
- Riwayat Dusun Raja Suku Tobelo Dalam
- “Sultan Tidore, Morotai dan Jokowi.”
Berita Terkait
Oleh : fadriah syuaib
Kupu-kupu jingga saling berkejaran. Mungkin mengabarkan atau sekadar bertandang. Menebarkan sayap, bersentuhan, melepas, lalu terbang lagi. Tidak tampak mana betina mana jantan, tapi dimana-mana yang mengejar itulah jantan, kadang dengan rasa saja bisa bisa membedakan hal itu.
Dihadapanku ada perempuan tua renta, dahulu ia bersuara keras, kini hilang tak bergema. Kulit keriput pembungkus tulang semakin lama semakin mengendur. Tubuh yang lincah seketika layu dan kering. Aku menemaninya seharian, bercerita banyak tentang hidupnya. Kadang kulihat ia tersenyum lalu perlahan air matanya menitik membasahi sudut wajah kurus keriput. Ia kini tak seperti kemarin, yang selalu segar dan lincah, kini perlahan meluntur termakan waktu. Memang hidup tidak terus menerus mekar, sesekali layu sesekali kering, jika sudah begitu perlahan akan gugur.
Tatapannya meminta untuk kudekati, suaranya yang layu sekaku lidahnya yang kelu. Tampak raut kesakitan di sudut bibir keriput, sesekali menatap kosong sesekali memejam rintih, dan aku terus berusaha memahami bahasa rongga yang tidak jelas apa maksudnya.
“ake jo... ake jo...”(1) begitu kalau dia meminta minum. Desahan kering mulai retak. Ia seperti menelan api, hawa panas seakan melewati gurun tandus.
Kini semua menjadi sakit, sakit di hati menembus jantung perlahan mengendap ke paru-paru, lama-lama menjadi beku. Sekarang dia pun mati kutu, harus dengan jalan apa lagi dapat terlepas bebas. Pijakan berenergi itu luluh perlahan, peluhnya sakit, parunya pun sakit, ia semakin menderita.
“to sone bato yaya jo... to sone bato... Jou yaaaa... to poha ua maaa. Oro fajaru ma Jou…”(2)
Teriakkannya semakin meninggi meraung menahan kesakitan, seakan bara m
